CRYPTO ACADEMY.

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak pertengahan Juli lalu, harga bitcoin terus menanjak hingga bergerak di kisaran US$ 50.000/koin belakangan ini. Pada perdagangan Minggu (29/8/2021), pukul 7:44 WIB, bitcoin diperdagangkan di kisaran US$ 49.082/koin, naik tipis 0,34% dari penutupan perdagangan sebelumnya.
Bitcoin merupakan mata uang kripto yang digadang-dagang sebagai emas digital, sehingga sering dibandingkan dengan emas asli.
Di saat bitcoin terus menanjak, harga emas justru kesulitan menguat. Harga bitcoin bahkan diprediksi akan meroket hingga menyentuh US$ 100.000/koin atau sekitar Rp 1,4 miliar per koin dalam 6 bulan ke depan.

Prediksi tersebut diutarakan oleh Florian Grummes, direktur pelaksana di Midas Touch Consulting. Meski demikian, Grummes mengatakan sebelum mencapai US$ 100.000/koin, bitcoin diperkirakan akan berbalik merosot dulu. Ia menyarankan investor untuk menunggu bitcoin di kisaran US$ 34.000 hingga US$ 38.000/koin sebelum membeli.
"Apa yang kita alami dalam lima pekan terakhir adalah bagus, rebound yang tajam pasca mengalami aksi jual yang menjadi ciri khas mata uang kripto," kata Grummes, sebagaimana dilansir Kitco, Kamis (26/8/2021).
"Jika ada aksi jual lagi, bitcoin berisiko ke US$ 25.000/koin. Itu masih mungkin terjadi, setelahnya bitcoin akan kembali ke kisaran US$ 35.000/koin dan kembali ke US$ 60.000/koin kemudian aksi beli akan kembali lagi. Saya pikir bitcoin akan menyentuh US$ 100.000/koin dalam enam bulan ke depan," tambahnya.
Volatilitas bitcoin yang sangat besar tersebut tentunya memberikan peluang cuan yang besar, tetapi risikonya juga setimpal. Sehingga, bitcoin dan mata uang kripto lainnya menarik bagi investor untuk berspekulasi. Hal tersebut membuat emas menjadi kurang menarik.
Analis dari Wells Fargo mengatakan emas yang kesulitan untuk menguat belakangan ini dikatakan akibat kompetisinya dengan bitcoin, bukan karena fundamentalnya.
Secara fundamental, kondisi makroekonomi saat ini dengan suku bunga rendah, stimulus fiskal, hingga inflasi tinggi dikatakan seharusnya menguntungkan emas, tetapi tidak terjadi saat ini.
"Sejak tahun lalu emas berkompetisi dengan mata uang kripto, khususnya bitcoin yang popularitasnya meningkat," kata Analis Wells Fargo, John LaForge, sebagaimana dilansir Kitco.
"Bitcoin merupakan mata uang kripto tertua dan terbesar di industri, dan secara terus menerus dibandingkan dengan emas sebagai aset penyimpan nilai. Supply keduanya terbatas dan perlu usaha besar untuk menambangnya, serta kenaikan harga tidak membuat produksi meningkat.

Pada perdagangan Jumat (27/8/2021) harga emas dunia meroket 1,37% ke US$ 1.816,66/troy ons yang merupakan level tertinggi sejak 4 Agustus lalu, atau beberapa hari sebelum mengalami flash crash.
Emas sebelumnya kesulitan bertahan di kisaran US$ 1.800/troy ons akibat kemungkinan terjadinya tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Maklum saja, tapering yang terjadi pada tahun 2013 membuat harga emas hancur, mengalami tren menurun hingga tahun 2015.
Titik terendah yang dicapai yakni US$ 1.045,85/troy ons pada 3 Desember 2015. Jika dilihat dari rekor tertinggi saat itu yang dicapai pada September 2011 US$ 1.920,3/troy ons hingga ke level terendah tersebut, artinya harga emas dunia ambrol 45,54% dalam tempo 4 tahun.

Simposium Jackson Hole di AS pada hari Jumat pun menjadi perhatian pelaku pasar, sebab ketua The Fed, Jerome Powell, diperkirakan akan memberikan detail kapan dan bagaimana tapering akan dilakukan.
Benar saja, Powell memberikan petunjuk. Tapering akan dilakukan sebelum akhir tahun ini. Tetapi, emas bukannya merosot malah meroket. Sebabnya, Powell menegaskan setelah tapering dilakukan, bukan berarti suku bunga akan dinaikkan.
"Waktu mengurangi pembelian aset tidak berarti menjadi pertanda waktu kenaikan suku bunga. Keduanya merupakan hal yang berbesar secara substansial," kata Powell dalam pertemuan Jackson Hole.
Alhasil, meski tapering dilakukan di tahun ini, tetapi harga emas masih mampu menanjak, sebab suku bunga rendah 0,25% kemungkinan masih akan ditahan dalam waktu yang lama. The Fed sebelumnya memproyeksikan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.
Sementara itu, Bank of America (BofA) memprediksi harga emas akan melesat lagi. BofA mengakui jika tapering akan menekan dan membatasi penguatan harga emas, tetapi tidak menghilangkan potensi emas ke US$ 1.900/troy ons di akhir tahun ini.
Dalam proyeksi terbarunya yang dirilis Kamis kemarin, analis komoditas dari BofA mengatakan emas kehilangan kemilaunya karena para investor menanti kepastian tapering dari The Fed. Tetapi, ada satu hal yang membuat outlook emas cerah, yakni inflasi yang tinggi di Amerika Serikat (AS).
"Saat perekonomian AS terakselerasi, inflasi seharusnya naik, dengan pasar melihat outlook inflasi yang melandai, ketika terjadi kenaikan tajam maka hal itu akan mendorong kenaikan harga emas. Fokus pelaku pasar tertuju pada tapering, sehingga emas menjadi kurang menarik bagi investor saat ini," kata analis BofA, sebagaimana dilansir Kitco (26/8/2021).
Selain itu, investor ternama Jeffery Gundlach yang dikenal sebagai "Raja Obligasi" juga melihat harga emas akan terus menanjak. Tetapi Gundlach melihatnya dalam jangka panjang akibat dolar AS yang akan mengalami penurunan.
Menurutnya, penurunan dolar AS tidak bisa dihindari, sebab kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah AS, yang membuat utang menjadi membengkak. Ia memprediksi dolar AS setidaknya akan ambrol 25%.
"Keyakinan saya yang pertama adalah dalam beberapa tahun ke depan, saya tidak berbicara hitungan bukan sama sekali tetapi tahun, dolar AS akan terus mengalami penurunan," kata Gundlach pada Yahoo Finance.
"Penurunan dolar AS menjadi salah satu alasan kita akan memilih emas. Saya pikir harga emas akan naik sangat tajam, tetapi saat ini masih berhibernasi" tambahnya.
Comentários